
Melalui tembang Macapat, dapatlah digali arti, maksud dan makna filosofi yang mendalam dalam setiap tembang,
walaupun satu sama lainnya berbeda dan mempunyai ke-spesifikan
tersendiri, namun satu sama lainnya merupakan rangkaian cerita yang
tidak dapat dipisahkan. Disamping itu isi dari tembang-tembang Macapat mempunyai nilai-nilai relegius yang tinggi, sehingga nilai-nilai moralitas yang terkandung didalamnya mudah dipahami oleh penikmatnya.
Seperti halnya tembang Macapat Jawa, tembang Macopat Madura berisi syair-syair
yang indah, dengan demikian ajaran, anjuran, ajakan menuju pintu
kebaikan mudah dicerna dan diserap oleh pengikutnya. Sehingga nilai budi
pekerti luhur,
nilai kejujuran, disiplin, amanah dan nilai relegius yang tersirat
maupun tersurat lebih mudah ditanamkan dalam hati sanubari. Nilai-nilai
yang tertanan tersebut diharapkan mampu membentuk manusia ber-budaya sekaligus mencetak pribadi muslim menjadi manusia paripurna.
Secara
lebih gamblang isi maupun makna dari masing-masing tembang akan
dibahas secara terperinci, sehingga dapat diketahui tujuan dari
masing-masing tembang tersebut diciptakan. Adapun rinciannya sebagai
berikut ;
Tembang Salanget (Kinanti)
Mara kacong ajar onggu, kapenterran mara sare
ajari elmo agama, elmo kadunnya’an pole
sala settong ja’ pabidda, ajari bi’onggu ate
Nyare elmo pataronggu
sala settong ja’ paceccer
elmo kadunnya’an reya
menangka sangona odhi’
dineng elmo agamana, menangka sangona mate.
Paccowan kenga’e kacong, sombajang ja’ la’ ella’e, sa’ are samalem coma
salat wajib lema kae
badha pole salat sonnat, rawatib ban salat lail
(Anggoyudo, 1983: )
(Ayo
anakku belajar yang tekun, kepandaian itu harus dicari, belajar
pengetahuan agama, juga pengetahuan dunia, jangan dibedakan, belajar
dengan kesungguhan hati. Mencari ilmu harus serius, salah satu jangan
ditinggalkan, ilmu keduniaan itu, keperluan hidup, sedangkan ilmu agama,
adalah bekal untuk mati. Selain itu ingatlah anakku, sembahyang jangan
sampai lubang, satu hari satu malam, sholat wajib lima kali, ada juga
shalat Sunnah, rawatib dan shalat malam hari).
Bungka nyeor buwa bhalulug
Bhalulugga daddi tjengker
Se tjengker daddiya buggan
Se buggan daddiya pathe
Se pathe daddiya minyak
Mennya’ daddi damar kene’
(Asmoro, 1950:27)
(Pohon
kelapa berbuah beluluk, beluluk menjadi cengker, buah cengker menjadi
kelapa, kelapa menjadi santan, santan menjadi minyak, minyak bisa
menjadikan terang)
Secara lugas,
Salanget (Kinanti) mempunyai arti sudah selesai menanti, sesuai dengan
arti apabila dipakai sewaktu dicari sudah diketemukan, apa yang
diinginkan sudah tercapai. Di samping itu tembang Salanget (Kinanti)
banyak berisi nasehat atau anjuran kepada manusia, untuk saling memberi,
saling menerima, saling mengingatkan dan saling ketergantungan sebagai
sesama makhluk ciptaan Tuhan, Penguasa alam semesta.
Sebagai
makhluk sosial, manusia membutuhkan orang lain dalam memotivasi diri
menuju arah kebajikan. Sebagai makhluk lemah dan dhoif, manusia
membutuhkan tuntunan dalam kehidupan ber-masyarakat. Melalui tembang Kinanti inilah, manusia akan lebih peka menangkap arti hidup dan kehidupan di dunia.
Di
samping itu tembang Salanget (Kinanti) mengajak setiap manusia untuk
lebih meningkatkan mutu individu melalui proses belajar. Manusia
diingatkan agar menguasai ilmu pengetahuan, baik dalam bidang IPTEK
maupun disiplin ilmu agama. Karena kedua disiplin ilmu tersebut,
memiliki intensitas yang tinggi bagi kemaslahatan umat manusia. Dengan
menguasai IPTEK, manusia akan lebih menyadari tentang kebesaran Tuhan
yang diperlihatkan melalui ciptaan-Nya. Bahwa semua yang ada di alam,
merupakan sumber ilmu yang tak pernah habis apabila digali dan di
pelajari. Dan semua itu harus diimbangi oleh penguasaan ilmu agama.
Sehingga terjadi keseimbangan, bahwa hidup manusia bukan hanya memenuhi
kebutuhan jasmaninya saja, tapi aspek rohani merupakan kebutuhan yang
sangat vital.
Allah SWT telah
memberikan semua sarana dan prasarana yang memadai kepada umat manusia.
Semua yang ada di bumi, baik dalam perut bumi, di daratan, lautan,
angkasa raya, tata surya ataupun semua yang tumbuh di bumi semua
diciptakan untuk manusia. Semua ciptaan Allah, sekecil apapun sangat
bermanfaat bagi manusia. Melalui tembang Salanget (Kinanti), manusia
diajak untuk lebih peka, arif dan bijaksana, terbuka cakrawala berfikir
dan wawasan.
Di bawah ini, cuplikan 2 tembang Salanget (Kinanti)
Pucung
Pon angongngong pa’na Putjung
Dja’ onengga ngotja’
Lora tore rassa’agin
Kasennengan tebbasa mlarat sampeyan
(Asmoro, 1950:21)
Terjemahannya sebagai berikut :
(Sudah
terdengar ceritanya bapak Putjung, jika saja bisa mengutarakan, coba
rasakan kesulitannya, kesenangan terbayar dengan kemiskinan-mu)
Tembang
ini mempunyai watak sembrana parikena (sembarangan), biasanya dipakai
untuk menceritakan hal-hal yang ringan, jenaka atau teka-teki. Adapun
tataran yang lebih luas, isi dari tembang Pucung memberikan
penggambaran hubungan yang sangat harmonis dan serasi antara sesama
manusia sebagai makhluk Tuhan. Apakah manusia itu mempunyai kedudukan
dan status tinggi dalam masyarakat, ataupun manusia itu hanya sebagai
hamba sahaya. Tembang ini mengingatkan kepada manusia, terutama kepada
para penguasa, para majikan, para juragan, para atasan agar tidak
berbuat sewenang-wenang.
Tembang
Pucung menggambarkan hubungan antara pemberi perintah dan penerima
perintah. Walaupun berada dalam posisi yang lebih tinggi, kaya dan
mapan, manusia dihimbau agar tidak silau dan berbuat tidak adil kepada
para pelayan, bawahan, hamba sahaya. Karena para bawahan, pembantu
mempunyai andil yang sangat besar bagi kesuksesan yang di raih. Hal itu
sebagai suatu bukti, bahwa manusia membutuhkan orang lain, manusia
memiliki ketergantungan yang sangat tinggi sebagai makhluk individu
maupun makhluk sosial.
Tembang ini mengungkapkan tentang nasehat kepada sesama
manusia, dalam menjalin hubungan dengan sesama untuk lebih mementingkan
rasa rendah hati dan tenggang rasa yang tinggi. Seseorang yang
mempunyai status dan kedudukan lebih tinggi, dihimbau memperlakukan
bawahan untuk lebih bersikap manusiawi.
Mejil (Medjil)
Tapa tedhung ka dhaja alowe,
Biridda emaos,
Atena sorat Yasin se dhingen.
Paparengnga ma’ keyae,
Enggi ebaca bajengnge,
Pon ta’ poron ambu
Sakeng rajana terro dha’ pottre,
Nyegga’ nase’ juko’,
Pon ta’ tedhung salanjangnga are,
Asena brang tadha’ pottre raddin,
Dha’ Allah amoji,
Nyo’on duli kabbul.
Kacator se atapa pon abit,
Badanna pon geddur,
Ta’ aguliyan sakale-kale.
Matang-matang enga’ oreng mate,
Ta’ kowat akebbi’,
Gun nyaba akelbu’……
(Asmoro, 1930…)
Terjemahannya sebagai berikut :
(Tapa
tidur ke paling utara, wiridnya dibaca, hatinya surat Yasin yang dulu
diberi Ulama, sudah dibaca dengan rajin, dan tidak mau berhenti. Karena
besarnya keinginan ke putri, makan nasi ikan, sudah tidak tidur
sehari-semalam, hampa tanpa rasa putri cantik, kepada Allah memuji minta
dikabulkan. Sudah berjalan tapanya sudah lama, tubuhnya lemas tanpa
urat, tidak ada gerak sedikit pun, kelihatan sudah seperti orang mati,
tidak kuat menahan, Cuma nafas yang kelihatan).
Langnge’ biru bintang tep ngarettep
Sabenne mancorong
Bulan bunter tjahya pote koneng
Tera’ ngantar ampon sasat are
Neng panas ta’andi’
Gneko bidha epon
Terjemahannya sebagai berikut :
(
Langit biru bintang bertebaran sinarnya, Sinarnya menyilaukan, Bulan
bulat cahaya keemasan. Terang bulan karena hari suah senja, Panas tidak
ada, Itu perbedaannya).
Manusia
merupakan makhluk paling sempurna yang diciptakan oleh Allah SWT. Begitu
besar kasih sayang Allah kepada makhluk yang bernama manusia, sehingga
seluruh alam raya yang diciptakan hanya untuk kemaslahatan umat manusia.
Namun banyak sekali manusia yang lupa bersyukur akan kebesaran kasih
sayang Allah SWT. Alunan syair tembang Medjil mengingatkan, supaya
manusia tidak melupakan nikmat yang diterimanya. Manusia diajak untuk
menggunakan kepekaan batin sekaligus rasionya untuk memikirkan kebesaran
alam semesta. Dengan begitu manusia dapat menarik sebuah kesimpulan,
bahwa Sang Maha Pencipta, Allah Ajja wa Jalla merupakan muara akhir
dari perjalanan hidup manusia.
Dalam
syair-syairnya tembang Medjil mengisyaratkan sebuah pesan tersirat,
bahwa dalam upaya pemenuhan kebutuhan hidupnya, baik kebutuhan jasmani
maupun rohani manusia tidak mampu bersandar pada kemampuan diri semata.
Ada sebuah Zat yang senantiasa memberi pertolongan, perlindungan
sekaligus memberikan rahmat dan karunia. Di samping itu manusia
senantiasa diingatkan pada sebuah kesadaran yang hakiki, bahwa Sang Maha
Pencipta adalah tempat memohon, tempat bersandar, tempat meminta,
tempat berpasrah diri, tempat berharap dan merangkumkan doa-doa sebagai
pengakuan diri sebagai makhluk yang dhoif dan lemah.
Maskumambang
Mon nyaroan ratona banne ngerenge
Mastena nyarowan
Tao se ekabutowen
Dha’ ka oreng a manfaat
Terjemahannya sebagai berikut :
(Kalau lebah pemimpinnya bukan kecoak, seharusnya lebah, mengerti tentang kebutuhan, kepada manusia sangat bermanfaat).
Tembang
Maskumambang menyiratkan sebuah hubungan yang sangat serasi, seimbang
dan harmonis antara manusia dan semua makhluk hidup. Dengan akal
pikirannya, manusia diajak untuk membaca,
menyimak memperhatikan serta memikirkan serta mengambil manfaat dari
keberadaan makhluk hidup lainnya. Hal itu sesuai dengan kapasitas
manusia sebagai pengemban amanah di bumi.
Melalui
alunan tembang Maskumambang, manusia diajak untuk membaca secara
detail fenomena alam dan mengambil hikmah dari semua makhluk ciptaan
Allah SWT. Sekecil apapun bentuk dari makhluk ciptaan-Nya tetap
memberikan nilai dan manfaat yang sangat besar bagi manusia. Di samping
itu tembang Maskumambang mengungkapkan suasana hati yang rawan akibat
kesedihan dan keprihatinan yang mendalam.
Durma
Lamon dika epassrae panggabayan
Ampon mare apekker
Terang ka’ekko’na
Adjanji maranta’a
Pon pon brinto tarongguwi
Anggap tanggungan
Ma’ ta’ malo da’ oreng
(Asmoro, 1950 ; 19)
Terjemahannya :
(Jika
kamu mendapat beban pekerjaan, sudah selesai dipikir, tentang
seluk-beluknya kerja, usaha untuk menyelesaikan, jika demikian haruslah
serius, bekerja dengan penuh tanggung jawab, agar tidak mengecewakan
orang).
Di samping melambangkan
tentang nafsu manusia, tembang ini menyiratkan hubungan yang sangat erat
antar manusia sebagai makhluk sosial. Dalam menjalankan kehidupannya,
manusia senantiasa memiliki ketergantungan pada manusia lainnya. Dengan
adanya ketergantungan tersebut, maka setiap individu dituntut untuk
bertanggung jawab terhadap diri sendiri ataupun orang lain. Terutama
tanggung jawab dalam mengemban tugas. Dalam arti nilai-nilai
profesionalisme benar-benar dijunjung tinggi.
Tanggung
jawab akan melahirkan rasa aman sekaligus rasa percaya terhadap diri
sendiri ataupun orang lain. Dengan bertanggung-jawab hubungan antara
sesama manusia menjadi serasi dan harmonis, sehingga menghilangkan rasa
saling curiga dan buruk sangka. Dengan demikian maka hubungan yang
dilandasi saling percaya, saling ketergantungan, saling
bertanggung-jawab serta memiliki keterikatan yang kuat akan menjauhkan
manusia dari segala permusuhan.
Kasmaran (Asmaradhana)
Dhu tang ana’ reng se raddin, se ganteng pole parjuga
spopre enga’ ba’na kabbi.ja’ odhi’ badha neng dunnya
kodu ba’na enga’a, sabban are korang omor, sajan abid sajan korang.
Sabellun dhapa’ ka janji, la mara pong-pong sateya
bannya’-bannya’ pangabekte, alakowa parentana, jauwi laranganna
Guste Allah Maha Agung, ngobasane alam dunnya.
Dhu tang ana’ estowagi, asareya kabecce’anmenangka sangona odhi’.
Neng dunnya coma sakejje’, omor ta’ asomaja, tako’ dhapa’ dha’ ka omor
abali ngadep dha’ Allah
Terjemahannya :
(Duh,
anak-anak yang cantik, yang bagus dan gagah, supaya kamu ingat semua,
hidup ada di dunia, harus kamu perhatikan, setiap hari umur berkurang,
tambah lama tambah berkurang. Sebelum sampai ke janji, ayu kerjakan
sekarang juga, banyak-banyak berbakti, kerjakan perintah Tuhan, jauhi
larangan Tuhan, Gusti Allah Maha Agung, menguasai alam dunia. Duh anak
yang mendapat restu, carilah kebajikan, sebagai bekal hidup, takut
sampai kebatasnya umur, kembali menghadap Allah).
O, Alla se Maha Socce, Pangeranna alam dunnya,
Ngera-ngera pon ta’ oneng, Ran-maheran paparengnga, Se badha neng e jagat, Mecem-macem jutan ebun, hawa aeng apoy tana.
Akadi bintang e elangnge’, Gunggungnga sera onengnga
Nyo’on maaf langjkong sae
Opama badha atanya, mara kagali tretan
Pera’, emas menya’ lantong, tatombuwan ka’bungka’an
Durin salak jeruk manggis
Dha’-tedha’an manca barna
jaran macan juko’ rengnge’
Lantaran dhari bannya’na
Lerressa ta’ bangal tanggung
Ressem lecek lamon mongkat. (Anggoyudo, 1983 : )
Terjemahannya :
(Allah
Yang Maha Suci, penguasa alam dunia, diperkirakan jumlahnya tidak tahu,
sangat mengherankan pemberiannya yang ada di dunia, beribu-ribu,
berjuta, udara, air, api dan tanah. Seperti bintang di langit, besarnya
siapa yang tahu, minta maaf lebih baik, sekiranya ada yang tanya, ayo
pikirkan saudara, perak, emas, minyak, pepohonan dan tumbuh-tumbuhan
lainnya. Buah durian, salak, jeruk, manggis, buat makanan beraneka
warna, macan, kuda, ikan sampai nyamuk, tak sanggup menghitung,
sebenarnya tidak berani menanggung, karena banyaknya ciptaan).
Asmaradhana
atau Kasmaran (Madura), berarti suka, kasengsem (jatuh cinta). Tembang
ini biasanya digunakan untuk menggambarkan perasaan cinta ataupun rasa
sedih. Selain itu juga memberikan gambaran rasa senang, bahagia, tidak
ada pikiran susah dan senantiasa berada dalam kondisi gembira.
Walaupun
tembang Kasmaran senantiasa menyiratkan aroma kegembiraan dan
kebahagiaan, tembang ini juga memberikan gambaran utuh tentang kewajiban
manusia terhadap sesama manusia ataupun kewajiban manusia terhadap
Khalik-Nya. Dalam arti manusia harus seimbang dan selaras dalam menata
hubungan, baik secara vertikal maupun secara horizontal.
Tembang
ini mengingatkan betapa pentingnya tali silaturahmi ditautkan. Saling
menyapa, saling berkunjung, saling membantu terhadap tetangga ataupun
sanak saudara. Menyambung tali silaturahmi merupakan ungkapan perasaan
kasih sayang dan akan memberikan dampak kegembiraan serta kebahagiaan
terhadap sesama manusia.
Salah satu
sifat manusia adalah senantiasa berbuat khilaf dan lalai. Dalam
syair-syairnya, tembang Kasmaran mengingatkan tentang kewajiban manusia
terhadap Sang Pencipta. Segala keindahan perhiasan yang ada di dunia
ini, jangan sampai memalingkan manusia dari Sang Pencipta. Kewajiban
manusia yang utama adalah beribadah kepada-Nya. Untuk itulah manusia
senantiasa diajak berbuat kebajikan, menjauhkan diri dari perbuatan
hina, keji, khianat dan mungkar. Di samping itu juga diingatkan tentang
batas umur yang dikaruniakan oleh-Nya, jangan sampai terbang percuma
dan sia-sia. Karena kehidupan manusia ibarat berada di persimpangan
untuk menuju kehidupan yang lebih hakiki dan abadi.
Di
sisi lain tembang Kasmaran menyiratkan kebesaran alam ciptaan-Nya.
Dengan sifat Rahman dan Rahim-Nya, seluruh alam semesta dan semua
penghuni yang ada di bumi, mulai tumbuh-tumbuhan, hewan darat maupun
hewan laut ditundukkan serta diperuntukkan oleh Sang Maha Pencipta
kepada umat manusia. Melalui tembang ini manusia diingatkan untuk
senantiasa bersyukur atas kenikmatan yang demikian besar. Selain
mensyukuri nikmat-Nya, manusia diingatkan untuk memikirkan kebesaran
Sang Pencipta dalam upaya mempertebal iman sebagai bekal beribadah dan
mengabdi hanya kepada-Nya.
Pangkur (Pangkor)
Raja onggu panremanna
Tanenmanna pon a nglebbi’I oreng
Oreng se mratane lebur
Klamon cokop landhu’na
Buwana ba’ lebba’ ka’ bungka’enna dhuluk
Nyaman bai long polongan
Panyeramanna la mare
Terjemahannya :
(Besar
sekali rasa syukurnya, tanamannya sudah setinggi orang, orang yang
merawat gembira, jika sudah cukup mencangkulnya, buahnya lebat sampai
pohonnya meliuk, jika butuh tinggal mengambil, sebelumnya setiap saat di
siram).
Perak-peral mare pasa
Tello polo are nakso e karengkeng
Tabu’ lapar nante’ bakto
Ta’ kenneng sarombanna
Pangaterro maste ngala ban atellok
Da’ ka atoranna pasa
Buka saor se epantje
(Asmoro, 1950 :19)
Terjemahannya :
(Gembira
sekali setelah selesai puasa, tiga puluh nafsu ter-penjara, perut lapar
menanti waktu buka, tidak bisa sembarangan, keinginan harus kalah oleh
ketentuan, dan aturannya puasa, berbuka dan sahur sesuai waktu).
Tembang
Pangkor ini biasanya dipakai untuk mengungkap hal-hal yang bersifat
keras, seperti kemarahan, perkelahian dan perang. Meskipun tembang
Pangkor identik dengan nuansa heroic, namun banyak diantara-nya
memberikan gambaran yang lugas dan gamblang tentang kekerdilan manusia
dihadapan Sang Pencipta.
Selain itu,
tembang ini menyiratkan satu sisi lain tentang nilai-nilai kebahagiaan
yang luar biasa pada diri manusia. Kebahagiaan tersebut dicapai karena
keberhasilan menjalankan perintah-Nya. Yaitu sebuah perintah untuk
menahan hawa nafsu, membersihkan hati, jiwa dan pikiran serta berbuat
jujur. Kewajiban menjalankan perintah-Nya, selama sebulan penuh di bulan
Ramadan yang penuh berkah.
Puasa merupakan cerminan hubungan yang paling dekat dan langsung antara manusia dengan Sang Khalik.
Hal itu disebabkan seseorang yang sedang ber-puasa dituntut jujur
terhadap diri sendiri, tidak berbohong, taat serta berbuat baik. Akibat
yang paling mencengangkan dan menakjubkan dari orang yang ber-puasa
adalah intropeksi diri. Dengan melakukan intropeksi diri, seseorang
akan mampu untuk selalu jujur pada diri sendiri, orang lain dan jujur
pada Tuhan-Nya.
Selain itu,
syair-syair yang diguratkan dalam tembang Pangkor menyiratkan tentang
perlunya manusia menjaga serta merawat lingkungannya. Dengan perawatan
yang baik, maka semua yang ada di permukaan bumi ini memberikan
keuntungan dan bermanfaat bagi manusia. Dari gambaran diatas dapatlah
dikatakan bahwa manusia sangat bergantung kepada makhluk lainnya,
sehingga keseimbangan dan ekosistem alam akan terjaga apabila manusia
berlaku arif dan bijaksana ketika mengelola kekayaan yang diciptakanNya.
Senom (Sinom)
Saklangkong loros bungkana
Pappa bi’ tolop dha’ andhi’
Dhauna bi’ topeng padha
Buwa bannya’ raja kene’
Dha’ bungka padha nyelpe’
Ta’ asa pesa apolong
Se ngodha biru barnana
Ding towa oba koneng
Mon buwa eporrak, bigi katon kabbi
( Sastrodiwirjo)
(Pohonnya
sangat lurus, pelepah dan ranting tidak punya, daunnya bisa dipakai
payung, buahnya banyak besar dan kecil, bersatu melekat pada pohonnya,
bersatu tidak terpisah, yang muda biru warnanya, bila tua berubah warna
kuning, kalau buah sudah dibelah, biji baru kelihatan).
Mon ta’ rokon sataretan,
Pedjer apadu ban are’
Ontong tada’ rogi bada
Oreng towa lake’ bine’
Tlebet sossa mekkere
Daddina saaherrepon
Ta’ burung salbut salsal
San bada se klero diddi
Pon ta’ ngabbru atjaggik napso e lombar
(Asmoro, 1950: 18)
(Kalau
tidak rukun se-saudara, pastilah bertengkar setiap hari, untung tidak
rugi pasti, orang tua laki dan perempuan, sangat susah memikirkan,
bagaimana akhirnya, paling tidak rusak berserakan, kalau ada yang salah
mintalah maaf. Kalau tidak minta maaf, bertengkar dengan nafsu membara).
Tembang
Sinom ini biasanya dipakai untuk mengungkapkan ha-hal yang bersifat
romantis, baik dalam hubungannya dengan kisah percintaan ataupun
hubungan antar sesama manusia. Di samping itu, bait-bait dalam tembang
ini menyiratkan tentang kemampuan membangun hubungan yang harmonis dan
romantis antar sesama manusia sebagai makhluk sosial. Apabila hubungan
baik telah terbangun dan terjalin, maka akan terbentuk tatanan sosial
yang mapan. Saling menghargai, saling tolong menolong dan bersama-sama
menjaga kerukunan.
Manusia merupakan
makhluk yang senantiasa lalai dan berbuat kesalahan. Oleh sebab itu
pintu maaf harus senantiasa terbuka. Apalagi hidup dalam suatu
masyarakat yang homogen, berbagai karakter berbaur, berbagai kepentingan
saling mendahului. Maka setiap manusia hendaknya membekali diri dengan
sikap toleransi dan tenggang rasa yang tinggi, mempunyai kebijaksanaan
dalam bergaul sehingga tercipta kedamaian yang hakiki untuk mencapai
kebahagiaan lahir maup
Menuntut ilmu
agama dan mewariskan kepada generasi penerus merupakan kewajiban utama.
Dengan berbekal ilmu agama, manusia mampu membentengi diri dari sifat
iri, dengki dan tamak serta mampu berbuat jujur baik pada diri sendiri,
orang lain serta terhadap Tuhan-Nya. Di sisi lain, tembang ini
mengingatkan agar manusia senantiasa berada dalam lintasan lurus, yaitu
dengan cara menjalankan semua perintah-Nya, serta menjauhi semua
larangan-Nya.
Artate’ (Dhandanggula)
Lamon sedha ngadek rato radin
Sentosa’a neggu ka adillan
Aseya dha’ bala kene’
Ja’ lebur dha’ panggunggung
Ajja’ pesan a pele kase
Ja’ baji’ dha reng juba’
Pan jurgaepon
Soppeya mare juba’na
Ban ja’ nyeya dha’ reng nestha ban mesken
Maka sedha bellasa (Asmoro. 1991 )
(Jika
sudah berani menjadi pemimpin, pegang rasa keadilan dan buat sentosa,
jangan suka pekerjaab kecil, dan jangan suka mendapat pujian, jangan
sekali-kali pilih kasih, janganlah benci pada orang jelek/bodoh, supaya
cepat selesai kejelekannya, dan jangan menyia-nyiakan orang nestapa dan
miskin, kalau bisa kasihani).
Oreng odhi’ neng e dunnya mangken
Ngagaliya dha’ kabajibanna, onenga se nyama odhi’
emota dha’ sal osol, Asallepon odhi’na dibi’
Odhi’na du parkara, Saparkaraepon
Odhi’ epon badan kasar, badan alos enggi sokma enyamae
Moga ekagaliya, badan kasar badan alos enggi
Sadajana buto ka teddha’an, sareng angguy se e sae, se raja gunaepon
Se faeda amanfaate,
Banne angguy teddha’an
Se parsasat racon, Se oneng daddi lantaran
Rosakkepon badan kasar alos pole
Se kasebbut e adha’
(Orang
hidup dalam dunia sekarang, dipikirkan apa kewajibannya, tahunya cuma
hidup, ingat asal-usulnya, asalnya hidup sendiri, hidup ada dua perkara,
perkara pertama, kehidupan badan kasar (tubuh) dan badan halus yaitu
jiwanya, semoga direnungkan, badan kasar (tubuh) dan badan halus (jiwa),
semuanya butuh makanan, yang dapat dipakai untuk kebaikan, yang besar
manfaatnya, bukan makanan yang dapat membawa kejelekan, yang dapat
menjadi lantaran, rusaknya badan kasar dan badan halus, seperti yang
disebutkan di atas).
Tembang ini
mempunyai maksud dan sebuah pengharapan tentang sesuatu dengan tujuan
akhir mencapai kebaikan. Tembang Macopat ini biasanya dipakai untuk
mengungkapkan perasaan suka cita atau pun ketika mencapai sebuah
kemenangan. Ada pun rasa suka cita dalam tembang Artate (Dhandanggula),
adalah rasa suka cita yang berlandaskan nilai-nilai tinggi ilahiyah.
Bagaimana tidak ? sebagai makhluk ciptaan yang paling sempurna, manusia
dikaruniai kecerdasan akal, kecerdasan emosional maupun kecerdasan
spiritual dalam upaya mengenali serta mendekatkan diri pada Sang
Pencipta. Melalui kecerdasan akalnya, manusia dapat memilih dan memilah
kebutuhan hidup, baik yang bersifat material maupun spiritual.
Untuk
bertahan dan melangsungkan kehidupannya, manusia memerlukan makanan.
Dalam upaya pemenuhan kebutuhan inilah, manusia diingatkan supaya
berhati-hati, teliti, dan cermat agar makanan yang akan menjadi penopang
kehidupannya tidak tercampur dengan makanan yang dihasilkan dari
pekerjaan yang nista dan haram. Tembang ini mengingatkan agar manusia
bekerja dengan tekun, rajin dan jujur, sehingga hasil yang dicapai akan
menghasilkan rejeki yang halal. Rejeki halal tersebut akan menjadi
makanan yang berguna dan bermanfaat bagi perkembangan jiwa maupun
pertumbuhannya.
Di sisi lain, jiwa
(roh) yang bersemayan dalam tubuh manusia juga memerlukan makanan.
Adapun makanan yang dibutuhkan oleh jiwa adalah keimanan dan ketakwaan,
yaitu dengan jalan senantiasa menjalankan amal kebajikan. Dengan
demikian, baik tubuh dan jiwa merupakan satu kesatuan utuh yang tidak
bisa dipisahkan dalam mengemban tugas sebagai makhluk ciptaan-Nya.
Tembang
ini juga menyiratkan sebuah pesan tentang keberadaan manusia sebagai
seorang pemimpin. Karena pada hakekatnya setiap manusia adalah pemimpin,
tapi bagaimanakah figur dan sosok pemimpin sejati ? Bait-bait tembang
ini memberikan nasehat, bahwa seorang pemimpin haruslah adil, terbuka,
jujur dan penuh kasih sayang. Rasa keadilan tersebut harus diterapkan
terutama pada sesama manusia yang berada dalam posisi lemah, miskin dan
serba kekurangan. Disamping itu, figur pemimpin dapat dilihat dari
kemampuannya dalam menata diri, mawas diri, mampu menahan ambisi pribadi
serta mendahulukan kepentingan umum di atas kepentingan pribadi.
Makna
suka cita dan kemenangan yang tersirat dalam tembang Artate
(Dhandanggula), adalah kemenangan besar manusia melawan diri sendiri.
Baik sebagai makhluk individu, makhluk sosial maupun sebagai makhluk
ciptaan-Nya.
Megattro (Megatruh)
Pojur onggu reng se kateban Wahyu
Enggi se olle pamanggi
Parkara se sanget parlo
Da’ bangsa amanfaadi
Asmana kodu epondjung
(Sungguh
beruntung orang yang mendapat Wahyu, yaitu yang mendapatkan penerangan
lahir bathin, urusan yang sangat perlu, dalam kehidupan sangat
bermanfaat, namanya haruslah dijunjung tinggi).
Tembang
ini biasanya dipakai untuk melukiskan perasaan kecewa ataupun kesedihan
yang mendalam. Makna yang terkandung dalam syair-syairnya, selain
melukiskan perasaan kecewa dan kesedihan mendalam, tembang ini
menggambarkan secara jelas dan gamblang tentang ketergantungan manusia
dengan Sang Pencipta. Karena sifat Maha dari Allah, maka manusia
mendapat uluran kasih sayang-Nya, limpahan anugerah yang melimpah
ruah, karunia serta Rahmat-Nya.
Selain
itu tembang Megatruh mengabarkan tentang manusia-manusia pilihan
(utusan) Allah SWT yang telah diturunkan ke bumi untuk menjadi figur
teladan dan panutan. Para Nabi dan Rasul merupakan utusan yang mempunyai
kedudukan sangat tinggi. Hal itu disebabkan, para utusan Allah
merupakan pembawa pesan serta ajaran-ajaran yang harus dilaksanakan
oleh manusia. Kewajiban untuk melaksanakan semua ketentuan-ketentuan
Allah dan utusan-Nya, tidak boleh ditawar-tawar sebagai wujud totalitas
ketergantungan manusia pada Khalid-Nya.
Di
sisi lain, secara khusus tembang ini menyiratkan tentang keberuntungan
manusia yang mendapatkan anugerah serta hidayah dari Allah SWT. Hidayah
tersebut berupa keterbukaan pintu hati dalam menerima kehadiran Allah
dalam bentuk utuh dalam jiwanya. Dengan demikian, sosok individu itu
akan mampu meningkatkan kadar keimanan dan ketakwaan-nya. Dengan
keimanan dan ketakwaan yang tinggi, maka manusia tersebut akan mampu
meng-implementasikan dalam kehidupan sehari-hari.
Gambuh (Gambu)
Maneh-maneh welingku
Ngabektia maring rama ibu
Uga guru kabeh paring suluh becik
Kanggo nata urip besuk
Paring teken miwah obor
(Suwito, 1983:41)
(Sekali
lagi nasehatku, berbakti-lah terhadap bapak dan Ibu, juga guru sebab
semua memberi nasehat yang baik, untuk menjalani kehidupan kelak,
memberi tongkat dan cahaya).
Watak
dari tembang ini adalah memberi penjelasan, selain itu tembang Gambu
menyiratkan satu sisi tentang ketergantungan manusia kepada manusia
lain. Manusia memerlukan figur lain dalam membentuk kepribadian diri
yang baik dan mantap. Orang tua, guru, ulama merupakan sosok yang paling
ideal dan pas dala menanamkan proses menuju kemandirian dan
pendewasaan diri.
Tembang ini penuh
berisi petunjuk-petunjuk dan nasehat kepada generasi muda tentang
pentingnya menghormati serta menghargai orang lain, terutama kepada
orang yang lebih tua (baik orang tua/guru). Bentuk penghargaan dan
penghormatan dengan jalan meng-implementasikan dalam kehidupan
sehari-hari, semua ajaran, perintah dan petuah yang berkaitan dengan
proses menuju arah kebaikan.
Manusia
merupakan makhluk yang senantiasa lalai, oleh sebab itu tembang ini
mengingatkan supaya antar sesama manusia saling mengingatkan, saling
memberi nasehat dan saling memberi petunjuk, baik terhadap anggota
keluarga, sanak saudara atau pun orang lain. Hal itu dilakukan sebagai
kewajiban yang harus dilakukan sebagai hamba Allah sebagai bentuk
tanggung jawab moral terhadap sesama.
Pelantuman
tembang Mocopat biasanya diadakan oleh masyarakat pecinta seni
tradisional di pedesaan. Pementasan ini biasanya diadakan ketika sedang
melaksanakan hajatan, misal ; selamatan kandungan (pelet kandung),
Mamapar (potong gigi), sunatan, ritual rokat (ruwatan anak), pesta
perkawinan dan ketika memperingati hari-hari besar Islam. Durasi
pembacaan Macopat pun beragam, dari durasi pendek sekitar satu jam
sampai durasi panjang selama semalam suntuk. Acara ini biasanya
dilaksanakan pada malam hari.
Adapun
cerita yang dibawakan, tergantung dan disesuaikan kepada situasi dan
kondisi pelaksanaan hajatan. Terkadang setiap tembang dinyanyikan secara
terpisah, terkadang pula mengambil variasi dari berbagai tembang. Untuk
permainan semalam suntuk, dinyanyikan bermacam tembang, dari
masing-masing tembang dipilih dan disesuaikan dengan cerita yang
dibawakan. Biasanya untuk acara ritual rokat (ruwatan anak) menyajikan
cerita Pandawa atau Betarakala, untuk Mamapar (potong gigi) dibacakan
cerita Maljuna, cerita Nabbi Yusuf dibacakan pada acara selamatan
kandungan (pelet kandung). Sedangkan cerita Nabi Muhammad, dibacakan
ketika memperingati hari-hari besar Islam.
Ada
pun lagu/ laras yang ada dalam tembang ada dua, yakni laras Pelog dan
laras Slendro. Ada beberapa tembang yang dibacakan tanpa alat musik,
misalnya dalam acara rokat pandabha atau Careta Nabbi, namun ada pula
yang menggunakan musik pengiring. Musik pengiring dalam pembacaan
Macopat menggunakan seruling ataupun iringan seperangkat gending. Tiupan
musik tunggal atau pun alunan gending tersebut ternyata mampu membawa
suasana lebih hidup. Disela-sela pembacaan Mocopat yang mendayu-dayu,
memiriskan serta merawankan perasaan, liukan-liukan seruling maupun
alunan gending membawa suasana hati lebih menyatu dengan tembang-tembang
yang dinyanyikan. Komposisi yang sangat harmonis tersebut, mampu
menghanyutkan perasaan sekaligus mempermudah memahami serta memaknai isi
dari tembang-tembang yang dibacakan.
Sampai
saat ini tembang Macopat masih mampu bertahan dan tetap digandrungi
oleh masyarakat, terutama yang berdomisili di pedesaan. Kegiatan
pelantuman Macopat dipentaskan sebagai ritual yang tak terpisahkan
ketika memperingati berbagai peristiwa yang berhubungan dengan prosesi
kehidupan manusia. Dimulai ketika manusia masih dalam kandungan, masa
kanak-kanak, memasuki masa akil balig dan ketika memasuki alam dewasa,
bersatu dalam mahligai perkawinan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar